Mencermati Politik Luar Negeri Obama di Asia Pasifik

Rabu, 25 Januari 2012 Label:
Oleh Asrudin ((Tulisan ini dimuat opini Koran Tempo , Rabu 23 November 2011, hlm. A11)
Ada yang menarik untuk dianalisis dari hasil kunjungan Presiden Barack Obama ke Australia, yakni tentang komitmen politik luar negeri AS di kawasan Asia pasifik. Di hadapan anggota parlemen Australia, pada Kamis 17 November 2011, Obama mengatakan, “Amerika adalah kekuatan Asia Pasifik, dan kami di sini untuk tinggal”. Komitmen ini dikatakan Obama sehari setelah Amerika-Australia sepakat untuk menempatkan pasukan 2.500 marinir AS mulai tahun depan (2012) di pangkalan militer Darwin.
Penempatan pasukan di Darwin adalah yang ketiga di kawasan pasifik setelah pangkalan militer AS di Guam dan Okinawa, Jepang. Mengingat ketiga kawasan ini secara geografis melingkari wilayah Cina, adalah wajar bila banyak analis pada umumnya, dan Cina pada khususnya menganggap ini sebagai taktik politik luar negeri AS untuk mengisolasi Cina di kawasan Asia Pasifik.
Tapi Obama menyangkal tuduhan-tuduhan tersebut dengan mengatakan, “kami tidak takut dan tidak mengisolasi Cina. Sangkalan Obama ini seakan ingin menegaskan politik luar negeri AS yang lebih mengedepankan pendekatan idealisme politik daripada realisme politik di kawasan Asia Pasifik. Artinya AS tidak bermaksud untuk melakukan politik isolasi terhadap Cina (realisme politik). Karena selain marinir, kata Obama, Angkatan Udara AS juga secara rutin akan melakukan penerbangan di Australia untuk merespon bencana alam dan masalah kemanusiaan secara efektif (idealisme politik).
Politik Luar Negeri Obama
Ciri utama politik luar negeri AS sejak tahun 1940-an hingga kini dibentuk oleh dua tradisi besar dalam ilmu hubungan internasional, yaitu realisme politik dan idealisme politik.
Tradisi realisme politik berkembang di era Perang Dingin, dimana tujuan utamanya dimaksudkan untuk melakukan politik pembendungan terhadap Uni Soviet yang dinilai membahayakan supremasi kekuasaan AS didunia. Sementara itu, tradisi idealisme politik berkembang di era pasca-Perang Dingin, dimana tujuan utama politik luar negeri AS diarahkan untuk melakukan ekspansi kebebasan/demokrasi ke seluruh penjuru dunia.
Richard N. Haas (2009), Presiden Council on Foreign Relations, pernah mengatakan bahwa politik luar negeri Obama itu lekat dengan tradisi realisme politik dibandingkan idealisme politik. Penilaian Haas itu didapatkan setelah melakukan studi banding antara politik luar negeri Obama dengan politik luar negeri George Bush yang beraliran realisme politik (sang ayah) dan politik luar negeri George W. Bush yang beraliran idealisme politik (sang anak).
George Bush dan George W. Bush adalah presiden AS yang telah menceburkan AS pada Perang Irak. Tapi ada yang membedakan keduanya dalam hal motif/tujuan Perang Irak. Motif/tujuan Presiden Bush (sang anak) melancarkan Perang Irak 2003 adalah untuk mengganti rezim pemerintahan. Ia berharap penggantian rezim di Bagdad bakal berujung pada terbentuknya Irak yang demokratis. Sebagai penganut paham idealisme politik, Bush tentu berharap dengan demokratisnya Irak, negara ini akan menjadi lebih bersahabat dengan AS.
Sementara itu, politik luar negeri Presiden Bush (sang ayah) dalam Perang Irak sebelumnya adalah untuk membebaskan Kuwait dari aneksasi Irak. Setelah berhasil membebaskan Kuwait, AS justru tidak terus bergerak maju menuju Bagdad dan menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein, seperti apa yang telah dilakukan oleh anaknya. Bush disini nampaknya hanya tertarik pada strategi realisme politik yang tidak ingin melihat negara lain unjuk kekuatan/kekuasaan yang dapat mengganggu kepentingan AS di Kuwait.
Dalam konteks itu, Presiden Obama rupanya lebih bersepakat dengan pendekatan realisme politik Bush (sang ayah) dibandingkan dengan pendekatan idealisme politik Bush (sang anak). Dalam politik luar negeri AS di Afghanistan, misalnya, Presiden Obama sama sekali tidak menyinggung soal mengubah negara itu menjadi demokratis. Di Afghanistan, Obama hanya tertarik untuk menghancurkan Al-Qaidah, yang selama ini telah mengganggu kepentingan/kekuasaan AS.
Merujuk pada politik luar negeri realisme politik Obama sebelumnya, maka pernyataan Obama yang menyebut “AS adalah Kekuatan Asia Pasifik” dapat dipahami sebagai unjuk kekuatan AS terhadap Cina yang selama ini dipandang agresif di kawasan pasifik dan pernyataan Obama yang menyebut “AS tidak Takut terhadap Cina” adalah penegasan Obama untuk memperingatkan Cina bahwa AS tidak gentar dengan kemajuan teknologi militernya yang di awal tahun 2011 telah berhasil mengembangkan dan meluncurkan rudal balistik yang jarak jangkauannya mampu mencapai pangakalan militer AS di Okinawa dan Guam, Jepang. Pada intinya penempatan pasukan marinir AS di Darwin itu ditujukan untuk meredam kekuatan Cina yang semakin merajalela di kawasan Asia pasifik.
Implikasi
Meskipun Menlu Indonesia Marty Natalegawa mengatakan Indonesia dan ASEAN tidak merasa terganggu dan terancam oleh keputusan penempatan pasukan AS tersebut dan tidak akan membiarkan Asia Tenggara menjadi ajang persaingan negara-negara kuat, seperti AS dan Cina, tetap ada implikasi yang dapat merugikan Indonesia dan ASEAN akibat dari taktik politik luar negeri Obama di kawasan Asia Pasifik.
Implikasi pertama terkait kedekatan geografis wilayah Darwin, dimana pasukan marinir AS ditempatkan, dengan wilayah Indonesia bagian Timur, Papua dan Maluku, yang secara potensial rawan akan gerakan separatisnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa AS dan Australia tidak mengamati aktivitas kita dan memiliki agenda tersembunyi? Apalagi Indonesia pernah memiliki pengalaman pahit terhadap Australia karena mendukung disintegrasi Timor Leste dari Indonesia pada 1999 (Herry Juliartono, 2011).
Implikasi kedua adalah jangan sampai persepsi positif Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura (sebagai anggota ASEAN) terhadap penempatan pasukan AS ini dipandang negatif oleh Cina. Dan ini dapat berakibat bagi relasi Cina-ASEAN kedepannya. Apalagi Cina telah berjasa bagi ASEAN dengan inisiatifnya menyediakan bantuan dana sejumlah US$ 1o miliar untuk kepentingan kerja sama ASEAN-Cina.
Sangat jelas, taktik politik luar negeri realisme politik Obama cukup efektif untuk menunjukkan AS sebagai kekuatan Asia Pasifik. Cina pun memiliki pengaruh kuat bagi ASEAN dengan sejumlah bantuan dananya. Implikasi utama dari semua ini adalah, Indonesia dan ASEAN pastinya akan terancam, terganggu dan menjadi objek dari pengaruh dua kekuatan utama yang bersaing antara AS dan Cina di kawasan Asia Pasifik.
Khusus untuk Indonesia, dengan mencermati politik luar negeri Obama yang demikian, jangan sampai doktrin “a Million Friends, Zero Enemies” yang menjadi pedoman politik luar negeri Indonesia membuat kita lengah, hanya karena doktrin tersebut yang mengharuskan kita bersikap positif terhadap Negara lain. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk terus selalu waspada terhadap setiap motif politik luar negeri Obama, karena disintegrasi Timor Leste dari Indonesia adalah pelajaran berharga bagi bangsa ini agar tidak terulang kembali dengan menularkannya pada wilayah-wilayah Indonesia lainnya seperti Papua dan Maluku yang mungkin akan dijadikan target AS dan Australia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
ARFY'S BLOG © 2011 | Design Template by Rizky wardiansyah | Template Blogger Name | Template Transparent 2.0 | Template Transparent 2.0